1.1
Konsep Dasar
1.1.1
Pengertian
Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Smeltzer dan Bare,
2002).
Fraktur adalah pemisahan atau
patahnya tulang. (Marylin E. Doengoes. 2000). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi. (Soebroto
Sapardan, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah)
Fraktur femur adalah terputusnya
kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh
laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup
banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI, 2005:543).
Fraktur femur
adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), kelelahan
otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Ada 2
tipe dari fraktur femur, yaitu :
1.
Fraktur
Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
a.
Melalui
kepala femur (capital fraktur).
b.
Hanya
di bawah kepala femur.
c.
Melalui
leher dari femur.
2.
Fraktur
Ekstrakapsuler;
a.
Terjadi
di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih
kecil /pada daerah intertrokhanter.
b.
Terjadi
di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah
trokhanter kecil.
1.1.2
Penyebab
Menurut
Sachdeva dalam Jitowiyono dkk (2010: 16), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi
tiga yaitu :
1.
Cedera
traumatik
a.
Cedera
langsung, berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang patah secara
spontan.
b.
Cedera
tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari benturan, misalnya
jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c.
Fraktur
yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.
2.
Fraktur
patologik
Fraktur
patologik yaitu fraktur yang terjadi pada tulang disebabkan oleh melelehnya
struktur tulang akibat proses patologik. Proses patologik dapat disebabkan oleh
kurangnya zat-zat nutrisi seperti vitamin D, kaslsium, fosfor, ferum. Factor
lain yang menyebabkan proses patologik adalah akibat dari proses penyembuhan
yang lambat pada penyembuhan fraktur atau dapat terjadi akibat keganasan. Dalam
hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada keadaan :
a.
Tumor
tulang (jinak atau ganas).
b.
Infeksi
seperti osteomielitis.
c.
Rakhitis,
suatu penyakti tulang yang disebabkan oleh devisiensi vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
3.
Secara
spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.
1.1.3
Tanda dan Gejala
Tanda dan
gejala yang dapat muncul pada klien dengan fraktur, diantaranya:
a.
Nyeri
sedang sampai hebat dan bertambah berat saat digerakkan.
b.
Hilangnya
fungsi pada daerah fraktur.
c.
Edema/bengkak
dan perubahan warna local pada kulit akibat trauma yang mengikuti fraktur.
d.
Deformitas/kelainan
bentuk.
e.
Rigiditas
tulang/ kekakuan
f.
Krepitasi
saat ekstremitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang akibat
gesekan fragmen satu dengan yang lain.
g.
Syok
yang disebabkan luka dan kehilangan darah dalam jumlah banyak.
Menurut
Smeltzer & Bare (2002:2358), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan
perubahan warna.
a.
Nyeri
terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b.
Setelah
terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot.
c.
Pada
fraktur panjang terjadi pemendekan tulang, yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d.
Saat
ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. (
uji kripitasi dapat membuat kerusakan jaringan lunak lebih berat).
e.
Pembengkakan
dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
bebebrapa jam atau hari setelah cedera.
Menurut
Mansjoer,dkk, (2000), daerah paha yang patah tulangnya sangat membengkak,
ditemukan tanda functio laesa, nyeri
tekan dan nyeri gerak. Tampak adanya deformitas angulasi ke lateral atau
angulasi ke anterior. Ditemukan adanya perpendekan tungkai bawah. Pada fraktur
1/3 tengah femur, saat pemeriksaan harus diperhatikan pula kemungkinan adanya
dislokasi sendi panggul dan robeknya ligamentum didaerah lutut. Selain itu
periksa juga nervus siatika dan arteri dorsalis pedis.
1.1.4
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan
dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan
lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis
ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini merupakan
dasar penyembuhan tulang (Black, J.M, et al, 1993).
Trauma
merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena kecelakaan
bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau putusnya
kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan patologik tulang seperti
Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang menurun, tulang rapuh akibat
ketidakseimbangan homeostasis pergantian tulang dan kedua penyebab di atas
dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan tulang yang dapat merobek
periosteum dimana pada dinding kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-saraf
sehingga dapat timbul rasa nyeri yang bertambah bila digerakkan. Fraktur dibagi
3 grade menurut kerusakan jaringan tulang. Grade I menyebabkan kerusakan kulit,
Grade II fraktur terbuka yang disertai dengan kontusio kulit dan otot terjadi
edema pada jaringan. Grade III kerusakan pada kulit, otot, jaringan saraf dan
pembuluh darah.
Pada grade I
dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat menimbulkan nyeri yang hebat
karena ada spasme otot. Pada kerusakan jaringan yang luas pada kulit otot
periosteum dan sumsum tulang yang menyebabkan keluarnya sumsum kuning yang
dapat masuk ke dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan emboli lemak yang
kemudian dapat menyumbat pembuluh darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila
mengenai organ-organ vital seperti otak jantung dan paru-paru, ginjal dan dapat
menyebabkan infeksi. Gejala sangat cepat biasanya terjadi 24 sampai 72 jam.
Setelah cidera gambaran khas berupa hipoksia, takipnea, takikardi. Peningkatan
isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan, mengakibatkan kehilangan
fungsi permanen, iskemik dan nekrosis otot saraf sehingga menimbulkan kesemutan
(baal), kulit pucat, nyeri dan kelumpuhan. Bila terjadi perdarahan dalam jumlah
besar dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Tindakan pembedahan penting untuk
mengembalikan fragmen yang hilang kembali ke posisi semula dan mencegah
komplikasi lebih lanjut. Selain itu bila perubahan susunan tulang dalam keadaan
stabil atau beraturan maka akan lebih cepat terjadi proses penyembuhan fraktur
dapat dikembalikan sesuai letak anatominya dengan gips.
Trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur :
1.
Faktor
Ekstrinsik
Adanya
tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2.
Faktor
Intrinsik
Beberapa
sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.
1.1.5
Komplikasi
Menurut Sylvia
and Price (2001), komplikasi yang biasanya ditemukan antara lain :
1.
Komplikasi
Awal
a.
Kerusakan
Arteri
Pecahnya
arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.
Kompartement
Syndrom
Kompartement
Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh
oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu
karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.
Fat
Embolism Syndrom
Fat
Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d.
Infeksi
System
pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.
Avaskuler
Nekrosis
Avaskuler
Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.
Shock
Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2.
Komplikasi
Dalam Waktu Lama
a.
Delayed
Union
Delayed
Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah
ke tulang.
b.
Nonunion
Nonunion
merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c.
Malunion
Malunion
merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan
perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
1.1.6
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges
dalam Jitowiyono (2010:21). Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien
dengan fraktur, diantranya:
a.
Pemeriksaan
rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b.
Scan
tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c.
Arteriogram
: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.
Hitung
darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada trauma multipel.
e.
Kreatinin
: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f.
Profil
koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel,
atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan transfusi darah
jika ada kehilangan darah yang bermakna
akibat cedera atau tindakan pembedahan.
1.1.7
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan
yang dilakukan adalah :
1.
Fraktur
Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi
kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1)
Pembersihan
luka
2)
Exici
3)
Hecting
situasi
4)
Antibiotik
Ada
bebearapa prinsipnya yaitu :
1.
Harus
ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang membahayakan jiwa airway,
breathing, circulation.
2.
Semua
patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan penanganan
segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan dengan perban tekan,
menghentikan perdarahan besar dengan klem.
3.
Pemberian
antibiotika.
4.
Debridement
dan irigasi sempurna.
5.
Stabilisasi.
6.
Penutup
luka.
7.
Rehabilitasi.
8.
Life
Saving
Semua
penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita dengan
kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius. Hal ini perlu
ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya
yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi
organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and circulation.
9.
Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat
darurat.
Dengan
terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut terancam untuk
terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang
tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan
setelah waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu
penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode
terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka, tercapai
walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara primer
menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah
sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
10. Pemberian antibiotika
Mikroba
yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi tergantung dimana
patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk
ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan
spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.
11. Debridemen dan irigasi
Debridemen
untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah terbuka baik berupa benda
asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman
dengan cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik
dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
12. Stabilisasi.
Untuk
penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen tulang, cara
stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya dan
fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan
fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi
luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal
dari rahabilitasi penderita. (Pedoman
diagnosis dan terapi, UPF, 1994: 133)
2.
Seluruh
Fraktur
1)
Rekognisis/Pengenalan
Riwayat
kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2)
Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner,
2001).
Reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur
menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum
reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin
untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani
dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi
tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain
dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar‑x
harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran
yang benar.
Traksi.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar‑x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan
kalus pada sinar‑x. Ketika kalus
telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi
Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini
dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat
tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3)
OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat
III yaitu dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction
and external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus
menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan
pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi
risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta
rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga
tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang
secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak;
baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan
hambatan lain dalam melakukan gerakan).
4)
ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami
pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan
untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open
reduction and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup,
bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai
dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler, pada fraktur
terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan fiksasi
rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna
(OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi,
flap jaringan lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan
pada politrauma, fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah
lempeng pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur
kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur
pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi
internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman
pin, Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada
3 macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring
(Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi
eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin
graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi
fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka,
status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur.
Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat
melepas fiksator, dan kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif
meliputi perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko
infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi.
Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan
kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi
protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari
disertai nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber
infeksi. Pada kasus ini selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan
lunak dan tampak nekrosis pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen
ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan
radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan imobilisasi untuk menilai
reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis serial
sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi
untuk melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah
lengkap rutin.
5)
Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
6)
Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot
diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari‑hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga‑diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula
diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan
mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi
fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang
diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
1.1.8
Klasifikasi
1.
Berdasarkan
sifat fraktur
a.
Fraktur
tertutup
Apabila
fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar. Tidak menyebabkan robeknya
kulit.
b.
Fraktur
terbuka
Apabila
fragmen tulang yang patah tampak dari luar. Merupakan fraktur dengan luka pada
kulit atau mebran mukosa sampai ke patahan kaki. Fraktur terbuka terbagi atas
tiga derajat, yaitu :
1)
Derajat
I
a.
Luka
< 1 cm
b.
Kerusakan
jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
c.
Fraktur
sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringa.
d.
Kontaminasi
minimal
2)
Derajat
II
a.
laserasi
> 1 cm
b.
Kerusakan
jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
c.
Fraktur
kominutif sedang
d.
Kontaminasi
sedang
3)
Derajat
III
Terjadi
kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot. dan
neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat tiga terbagi
atas :
a.
Jaringan
lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi
luas/flap/avulse atau fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
b.
Kehilangann
jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi massif. Luka
pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan
jaringan lunak.
2.
Berdasarkan
komplit / tidak komplit fraktur
a.
Fraktur
komplit
Patah
pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran bergeser
dari posisi normal)
b.
Fraktur
inkomplit
Patah
hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
Misal
: Hair line fraktur, Green stick(fraktur
dimana salah satu sisi tulang patah sedang
sisi yang lain membengkok)
3.
Berdasarkan
bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme tauma
a.
Fraktur
transversal
Arah
melintang dan merupakan akibat trauma angulasi / langsung
b.
Fraktur
oblik
Arah
garis patah membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat
dari trauma langsung
c.
Fraktur
spiral
Arah
garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi
d.
Fraktur
kompresi
Fraktur
dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
4.
Istilah
lain
a.
Fraktur
komunitif
Fraktur
dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
b.
Fraktur
depresi
Fraktur
dengan bentuk fragmen terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak
dan tulang wajah).
c.
Fraktur
patologik
Fraktur
yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, tumor,
metastasis tulang).
d.
Fraktur
avulse
Tertariknya
fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.
e.
Fraktur
Greensick
Fraktur
dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.
f.
Fraktur
Epfiseal
Fraktur
melalui epifisis
g.
Fraktur
Impaksi
Fraktur
dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.